Mu'tazilah wal Al As'ariyah

Pemikiran manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat Islam sendiri atau pemikiran yang berasal dari luar umat Islam. Sebelum filsafat Yunani masuk dan berkembang di dunia Islam. Umat Islam sendiri telah menggunakan pemikiran rasionalnya untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an, terutama yang belum jelas maksudnya (al-mutayabihat). Keharusan untuk menggunakan rasio ternyata mendapat pijakan dari beberapa ayat Al-Qur’an, diantaranya[1] :

  • أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَ ا
  • Artinya : Bentuk konkret penggunaan pemikiran Islam sebagai sumber ilmu kalam adalah Ijtihad yang dilakukan para mutakallim dalam persoalan tertentu yang tidak ada penjelasannya dalam Al-Qur’an dan Hadist, misalnya persoalan manzillah bain al-manzilataiin (posisi tengah diantara dua posisi) dikalangan mu’tazillah ; persoalan ma’shum dan bada di kalangan Syi’ah dan persoalan kasab di kalangan Asy’ariyah. Orang Islam wajib mengikuti petunjuk Rasul[2]. Azas hukum yang dijadikan pegangan adalah firman Allah :

  • مَّا أَفَاء اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاء مِنكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيالْعِقَابِ
Artinya : Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. Adapun sumber ilmu kalam berupa pemikiran yang berasal dari Islam dapat diklasifikasikan dalam dua kategori. Pertama, pemikiran non muslim yang telah menjadi peradaban lalu di transfer dan diasimilasikan dengan pemikiran umat Islam. Proses tranfer dan asimilasi ini dapat dimaklumi karena sebelum Islam masuk dan berkembang, dunia Arab (Timur Tengah) adalah suatu wilayah tempat diturunkan agama-agama samawi lainnya. Agama-agama itu beberapa kali diturunkan Allah SWT. Sejarah telah mencatat, bahwa perselisihan serta perbedaan aqidah di kalangan kaum muslimin yang pada akhirnya menimbulkan firqah-firqah, golongan-golongan atau aliran-aliran adalah bermula dari persoalan-persoalan politik pasca wafatnya nabi Muhammad SAW, dan puncaknya terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib pada tahun 661 M.[3] Dimana pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ini banyak mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang berambisi menjadi khalifah, diantaranya adalah Thalhah bin Zubair dan Muawiyah. Bermula dari persoalan politik tersebut, pada akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan teologi. Peristiwa arbitrase yang terjadi pada saat pertentangan Ali dan Mu’awiyah pada akhirnya dibawa kepada persoalan Teologi. Permasalahan ini terus berkembang hingga akhirnya memunculkan aliran-aliran. Aliran-aliran yang dilatarbelakangi permasalahan politik seperti halnya Khawarij, Syi’ah, Murjiah pada akhirnya memunculkan aliran Teologi seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Dua aliran yang disebut terakhir inilah yang sangat besar pengaruhnya dalam dalam dunia teologi. Walaupun kemudian timbul aliran-aliran lain yang (mungkin) berpengaruh, namun semua itu masih berdasar kepada pemikiran awal dua aliran ini. Mu’atazilah dalam pembahasannya banyak menggunakan akal, sehingga mereka mendapatkan nama “kaum rasionalis Islam”,[4] sedangkan Asy’ariyah yang bersifat tradisional ada yang menyebutnya menggunakan metode sintesa, karena ia dalam pembahasannya sangat percaya kepada ketentuan Tuhan, sedangkan akal ada di bawah wahyu. Dengan melihat bahwa dua aliran ini sangat dominan menentukan pola pikir manusia dalam hal teologi, maka penulis hendak membahas perbedaan mendasar yang ada pada dua aliran ini, yaitu Mu’tazilah dan Asy’ariyah.


Secara harfiah Kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, istilah mu’tazila menunjuk pada dua golongan. Golongan pertama muncul sebagai respon politik murni, golongan kedua muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan khawarij dan murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim.[5]

Aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Pada awal berdirinya, orang-orang yang ada dalam aliran ini enggan disebut sebagai kaum Mu’tazilah, tetapi ia lebih mempopulerkan dirinya dengan golongan ahl al-tauhid wa al-adl.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijriyah di Basrah (Irak),[6] sebagai pusat perpaduan segala macam ilmu pengetahuan, kebudayaan dan agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang hendak menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik yang berasal dari dalam Islam sendiri (orang-orang yang baru masuk Islam tetapi masih membawa aqidah agama lama) atau luar Islam. Di samping itu umat Islam pada saat itu sudah terpecah menjadi beberapa golongan, yakni Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah. Dan aliran-aliran itu dalam pemikirannya masih dangkal dan sulit dipersatukan. Sehingga aliran yang pada awalnya menggunakan nama ahlu al-tauhid wa al-adl ini perlu menyelamatkan muka Islam.

Mu’taazilah timbul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan Murji’ah mengenai persoalan dosa besar seorang muslim. Adalah Waasil bin Atha’ yang kecewa dengan gurunya Hasan Al-Basri, dan menyatakan bahwa seorang muslim yang berdosa besar menempati posisi di antara dua posisi (al-manzilu baina manzilatain), artinya, ia tidak bisa disebut sebagai mu’min tetapi ia juga tidak bisa disebut sebagai kafir, akan tetapi lebih tepat jika disebut fasiq.[7]
Dalam perkembangan selanjutnya, aliran Mu’tazilah lebih banyak menggunakan akal sehingga ia sering disebut sebagai aliran rasionalistik. Dalam pandangannya, akal sebagai karunia terbesar Tuhan mempunyai fungsi yang luar biasa untuk memahami ayat-ayat Tuhan, sehingga ia merupakan sumber pengetahuan utama. Oleh karena itu bagi Mu’taazilah, keraguan adalah sebagai metode untuk mencari kebenaran. Keraguan yang dipergunakan bukan keraguan yang sungguh-sungguh, melainkan hanya sebagai suatu metode untuk menemukan suatu kebenaran.
Pada awal berdirinya, Mu’tazilah tidak banyak mendapat simpati, karena masyarakat awam sulit menerima dan memahami ajaran-ajaran yang rasionalistik ini. Mu’tazilah baru menjadi besar dan mendapat banyak pengikut pada zaman pemerintahan Al-Makmun, bahkan telah menjadi mazhab resmi negara.
Aliran Mu’taazilah mulai menurun pada masa Al Mutawakil. Keadaan ini semakin memburuk bagi Mu’tazilah ketika Al Mutawakil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah dan digantikan dengan mazhab Asy’ariyah
.

B. Pokok-pokok Pikiran Mu’tazilah
Pada prinsipnya Mu’tazilah mempunyai lima hal pokok dalam pandangannya, yang populer disebut af’al al-ushul al-khamsah, yakni; al-Tauhid, al-Adl, al-Manzilu baina manzilatain, al-wa’du wa al-wa’id, dan amar ma’ruf nahi munkar.

1. Al Tauhid
Tuhan, menurut Mu’tazilah, tidak mempunyai sifat-sifat yang mempunyai wujud di luar zatnya. Tuhan tidak mungkin diberikan sifat-sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim. Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat-sifat yang qadim, maka akan menunjukkan bahwa Allah itu berbilang-bilang atau Tuhan lebih dari satu. Padahal Allah itu maha Esa, tidak ada yang menyekutuinya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak seperti apapun zat Tuhan hanyalah satu (Esa) tidak terbilang. Tuhan tidak berjisim, bersifat, berunsur serta berjauhar (atom).
Dengan demikian apabila ada pandangan bahwa Tuhan bersifat maka orang itu dapat disebut sebagai syirik. Kalaupun dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Tuhan mengetahui, berkehendak, berkuasa dan sebagainya, itu tidak lain tak terlepas dari zatnya. Abu Huzail memberikan pendapatnya bahwa yang dimaksud Tuhan mengetahui adalah mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuannya adalah zat-Nya, Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan-Nya adalah zatnya, Tuhan itu hidup dengan kehidupan dan kehidupan-Nya adalah zatnya, dan begitu seterusnya. Al Syahrastani memberikan teks dari pertanyaan tersebut sebagai berikut:
1) Al Adl
Manusia diciptakan Tuhan dengan membawa kemerdekaan pribadi. Ia mempunyai daya untuk berbuat sesuatu dengan bebas. Perbuatan-perbuatan yang ia lakukan adalah kehendak dirinya dan bukan kehendak siapapun, termasuk Tuhan. Manusia dapat berbuat baik ataupun buruk adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri, karena ia mempunyai daya untuk itu. Sedangkan daya (istita’ah) terdapat dalam diri manusia sebelum ia melakukan suatu perbuatan.
Sebagaimana diterangkan oleh Abdul Al Jabbar, bahwa yang dimaksud “Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya” adalah bahwa Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia dan pada daya inilah tergantung wujud perbuatan itu, dan bukanlah yang dimaksud bahwa Tuhan membuat perbuatan yang telah dibuat manusia.
Dengan melihat bahwa manusia bebas berbuat baik artaupun buruk, taat ataupun maksiat, iman ataupun kufur, maka manusia berhak untuk menerima balasan yang sesuai dengan amalnya. Artinya, Tuhan dituntut untuk berbuat keadilan, untuk yang berbuat baik, maka Tuhan harus menganugerahinya dengan pahala dan surga, sedangkan untuk yang berbuat buruk maka Tuhan harus mengukum,nya dengan siksa dan dosa. Jika Tuhan tidak berbuat demikian maka Tuhan dikatakan tidak adil. Untuk menguatkan pendapatnya itu, mu’tazilah juga menggunakan dasar al-Qur’an:


مَّا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً وَكَفَى بِاللّهِ شَهِيداً


Artinya :“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Tuhan, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari kesalahan dirimu sendiri”.2) \