Hukum Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Para shahabat nabi memang tidak pernah mengadakan ritual apapun,termasuk tidak pernah merayakan hari lahirnya nabi muhammad SAW,dan tidak pernah merayakan hari turunnya Al-Qur’an dan isra’ma’raj’-nya nabi muhammad SAW.semua itu tidak pernah dilakukan di zaman sahabat,apalagi di zaman nabi masih hidup.tidak ada satupun ulama yang menolak realita ini.semua mengakui bahwa di masa itu belum ada kegiatan seperti itu.

Namun ketika ada orang atau kalangan masyarakat muslim yang kemudian melakukannya seperti yang kita lihat di berbagai negara muslim,apakah itu harus dilarang?apakah perayaan itu menjadi bid’ah dan haram untuk dikerjakan? Yang jadi titik masalah adalah: apakah secara khusus nabi Muhammad saw,melarang semua perayaan itu? Apakah ada dalil dari Al-Qur’an dan sunnah yang shahih dimana secara eksplisit Nabi SAW mengharamkan semua perayaan itu? Ataukah larangan itu merupakan hasil ijtihad sebagian kalangan.jawaban yang seperti ini tidak pernah ke titik final kesepakatan.para ulama dan umat islam banyak berbeda dalam menyikapinya. Sebagian kalangan tanpa tedeng aling-aling lansung mengeluarkan fatwa haram dan bid’ah. Artinya siapa saja yang melakukan berbagai kegiatan ini berdosa besar dan matinya akan masuk neraka.

Namun sebagian lainnya memandang dengan sudut pandang berbeda,meski tetap mengakui bahwa di masa nabi Muhammad saw. Dan di masa para sahabat tidak pernah ada kegiatan seperti ini,namun dalam pandangan mereka kegiatan seperti ini tidak lantas menjadi haram untuk dikerjakan.

Dua kubu ini sejak zaman dahulu sudah berbeda pendapat,dan rasanya sampai hari ini perbedaan pendapat itu masih tetap berlansung,yang satu tetap setia dengan vonis bid’ahnya dan yang lain tetap komitmen untuk tidak membid’ahkannya.
1. Pendapat yang membid’ahkannya.

Mereka yang membid’ahkan perayaan-perayaan seperti disebutkan diatas,biasanya beragumen bahwa apa saja kegiatan keagamaan yang tidak ada contoh dari rasullullah saw,dan para sahabat.berarti hukumnya bid’ah dan semua jenis bid’ah itu sesat dan orang sesat itu tempatnya di neraka.
Mereka umumnya sangat khawatir kalau urusan mengadakan perayaan mauled dan isra’mi’raj akan menyeret mereka.tidak cukup ketakutan itu untuk diri mereka,merekapun sibuk berkempanye melarang ummat islam melakukannya.jutaan eksemplar buku,kaset,ceramah rekaman dan alat propaganda serta aliran dana mereka gulirkan untuk kempanye bahwa semua itu adalah sesat dan berujung ke neraka.Dalilnya sederhana saja, karena semua itu tidak pernah dilakukan di zaman nabi, maka siapa saja yang melakukannya dianggap telah membuat agama baru dan tempatnya kekal di dalam neraka.
2. Pendapat Yang Membolehkan

Mereka yang membolehkan tidak juga tidak mau kalah dalam berargumen.Meski di zaman nabi tidak pernah dilakukan,namun menurut mereka tidak lantas kegiatan seperti itu bisa dianggap sebagai bid’ah sesat dan membawa ke neraka.Sebab yang termasuk bid’ah hanyalah bisa seseorang menambah ritual peribadatan,seperti shalat yang ditambahi rukun atau rakaatnya.Sedangkan kegiatan peringatan maulid nabi, menurut mereka, tidak ada kaitannya dengan ibadah rtitual, namun lebih terkait dengan masalah teknis muamalah.

Dan dalam masalah muamalah, prinsipnya apapun boleh dilakukan selama tidak melanggar hal-hal yang memang secara tegas dilarang.Kalau menambahi rakaat shalat shubuh menjadi tiga rakaat, barulah itu namanya bid’ah. Atau mengubah tempat haji dari Arafah ke lapangan monas, itu juga bid’ah. Tapi kalau kita memperingati lahirnya seseorang termasuk nabi kita, atau Isra’ Mi’raj, sama sekali tidak ada kaitannya dengan ritual ibadah.Namun mereka yang membolehkan perayaan maulid Nabi SAW sepakat mengharamkan perayaan itu apabila mata acaranya merupakan hal-hal yang secara tegas bertentangan dengan aqidah dan syariah. Misalnya, perayaan maulid dengan memberikan sesaji kepada kuburan keramat, atau kepada keris dan pusaka.




Bahkan ada yang mengusap-usap benda pusaka itu dengan niat mengharapkan barakah dan kesembuhan, naik gaji dan pangkat, lancar usaha dan rejeki, digampangkan jodohnya, atau agar suaminya tidak kawin lagi, gampang mencari pekerjaan dan seterusnya. Perayaan maulid dengan praktek pedukunan semacam ini keharamannya sudah disepakati para ulama. Bukan memperingati maulidnya, tetapi praktek-praktek yang haramnya itulah yang menjadi titik masalah.
Akan tetapi kalau yang dilakukan adalah kajian tentang sirah nabawiyah, baik berupa seminar, dialog, diskusi, talkshow, maka kegiatan itu jelas positif. Baik dikaitkan dengan peringatan hari lahirnya Nabi SAW atau pun tidak dikaitkan.Atau panggung yang islami dimana para penyair membawakan sajak dan puisi yang indah memuji Rasulullah SAW, sebagaimana yang dahulu pernah dilakukan oleh para pujangga.

Mereka berlomba menulis syaiar yang indah, yang dapat membangkitkan semangat persatuan umat Islam, serta membangkitkan semangat berjuang membela agama Allah SWT di muka bumi. Semua itu kalau dikaitkan dengan hari kelahiran Rasulullah SAW, adalah bentuk kegiatan yang positif.

Dan bisa saja dengan cara berbagi nikmat dan rejeki kepada mereka yang miskin dan kekurangan. Entah dengan pembagian sembako, atau makanan yang bisa mengenyangkan umat dari lapar dan dahaga.


BAB II
Shahabat,Khulafa’urrosyidin Dan Ulama’Menganjurkan


Pada Masa Sahabat Khulafa’urrosyidin dan Ulama tiga generasi menganjurkan dan memotivasi ummat Islam agar diselenggarakan majelis untuk membesarkan atau mengagungkan Maulid Nabi Saw.

a. Abu Bakar ash-Shiddiq
Telah berkata Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq: “Barang siapa yang menafkahkan satu dirham bagi menggalakkan bacaan Maulid Nabi saw., maka ia akan menjadi temanku di dalam syurga.

b. Umar bin Khattab
Telah berkata Sayyidina ‘Umar: “Siapa yang membesarkan (memuliakan) majlis maulid Nabi saw. maka sesungguhnya ia telah menghidupkan Islam.

c. Utsman bin ‘Affan
Telah berkata Sayyidina Utsman: “Siapa yang menafkahkan satu dirham untuk majlis membaca maulid Nabi saw. maka seolah-olah ia menyaksikan peperangan Badar dan Hunain”

d. Ali bin Abi Tholib
Telah berkata ‘Ali : “Siapa yang membesarkan majlis maulid Nabi saw. dan karenanya diadakan majlis membaca maulid, maka dia tidak akan keluar dari dunia melainkan dengan keimanan dan akan masuk ke dalam syurga tanpa hisab”.

e. Syekh Hasan al-Bashri
Telah berkata Hasan Al-Bashri: “Aku suka seandainya aku mempunyai emas setinggi gunung Uhud, maka aku akan membelanjakannya untuk membaca maulid Nabi saw.

f. Syekh Junaid al-Baghdady
Telah berkata Junaid Al-Baghdadi semoga Allah mensucikan rahasianya: “Siapa yang menghadiri majlis maulid Nabi saw. dan membesarkan kedudukannya, maka sesungguhnya ia telah mencapai kekuatan iman.

g. Syekh Ma’ruf al-Karkhy
Telah berkata Ma’ruf Al-Karkhi: “Siapa yang menyediakan makanan untuk majlis membaca maulid Nabi saw. mengumpulkan saudaranya, menyalakan lampu, memakai pakaian yang baru, memasang bau yang wangi dan memakai wangi-wangian karena membesarkan kelahiran Nabi saw, niscaya Allah akan mengumpulkannya pada hari kiamat bersama kumpulan yang pertama di kalangan nabi-nabi dan dia berada di syurga yang teratas (Illiyyin)”


h. Fakhruddin ar-Rozi
Telah berkata seorang yang unggul pada zamannya, Imam Fakhruddin Al-Razi: “Tidaklah seseorang yang membaca maulid Nabi saw ke atas garam atau gandum atau makanan yang lain, melainkan akan zahir keberkatan padanya, dan setiap sesuatu yang sampai kepadanya (dimasuki) dari makanan tersebut, maka makanan tersebut akan bergoncang dan tidak akan tetap sehingga Allah mengampunkan orang yang memakannya”.“Sekirannya dibacakan maulid Nabi saw. ke atas air, maka orang yang meminum seteguk dari air tersebut akan masuk ke dalam hatinya seribu cahaya dan rahmat, akan keluar daripadanya seribu sifat dengki, penyakit dan tidak mati hati tersebut pada hari dimatikan hati-hati”.

i. Imam as-Syafii
Telah berkata Imam Asy-Syafi’i: “Siapa yang menghimpunkan saudaranya (sesama Islam) untuk mengadakan majlis maulid Nabi saw., menyediakan makanan dan tempat serta melakukan kebaikan, dan dia menjadi sebab dibaca maulid Nabi saw. itu, maka dia akan dibangkitkan oleh Allah pada hari kiamat bersama ahli siddiqin (orang-orang yang benar), syuhada’ dan solihin serta berada di dalam syurga-syurga Na’im.”






j. as-Sary as-Saqothy
Telah berkata As-Sariyy As-Saqothi: “Siapa yang pergi ke suatu tempat yang dibacakan di dalamnya maulid Nabi saw. maka sesungguhnya ia telah pergi ke satu taman dari taman-taman syurga, karena tidaklah ia menuju ke tempat-tempat tersebut melainkan lantaran kerana cintanya kepada Nabi saw. Sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda: “Sesiapa yang mecintaiku, maka ia akan bersamaku di dalam syurga.”

k. Syihabuddin Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami
“Siapa yang hendak membesarkan maulid Nabi saw. maka cukuplah disebutkan sekedar ini saja akan kelebihannya. Bagi siapa yang tidak ada di hatinya hasrat untuk membesarkan maulid Nabi saw. sekiranya dipenuhi dunia ini dengan pujian ke atasnya, tetap juga hatinya tidak akan tergerak untuk mencintai Nabi saw. Semoga Allah menjadikan kami dan kalian di kalangan orang yang membesarkan dan memuliakannya dan mengetahui kadar kedudukan Baginda saw. serta menjadi orang yang teristimewa di kalangan orang-orang yang teristimewa di dalam mencintai dan mengikutinya. Aamiin, wahai Tuhan sekalian alam. Semoga Allah melimpahkan rahmat atas penghulu kami Nabi Muhammad saw. keluarganya dan sahabat-sahabatnya sekalian hingga Hari Kemudian.”



BAB II
Memahami Hukum Isra’Mi’raj

Seringkali masyarakat menggabungkan Isra Mi'raj menjadi satu peristiwa yang sama. Padahal sebenarnya Isra dan Mi'raj merupakan dua peristiwa yang berbeda.

Isra Mi'raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi'raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi'raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer. Namun demikian, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri menolak pendapat tersebut dengan alasan karena Khadijah radhiyallahu anha meninggal pada bulan Ramadan tahun ke-10 kenabian, yaitu 2 bulan setelah bulan Rajab. Dan saat itu belum ada kewajiban salat lima waktu. Al-Mubarakfuri menyebutkan 6 pendapat tentang waktu kejadian Isra Mi'raj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Dengan demikian, tidak diketahui secara persis kapan tanggal terjadinya Isra Mi'raj.

Peristiwa Isra Mi'raj terbagi dalam 2 peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam "diberangkatkan" oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi'raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini Beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan salat lima waktu.
Bagi umat Islam, peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang berharga, karena ketika inilah salat lima waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini. Walaupun begitu, peristiwa ini juga dikatakan memuat berbagai macam hal yang membuat Rasullullah SAW sedih.
Sidrat al-Muntahā berasal dari kata sidrah dan muntaha. Sidrah adalah pohon Bidara, sedangkan muntaha berarti tempat berkesudahan, sebagaimana kata ini dipakai dalam ayat berikut:

Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu). (An-Najm, 53:41-42) ”
Dengan demikian, secara bahasa Sidratul Muntaha berarti pohon Bidara tempat berkesudahan. Disebut demikian karena tempat ini tidak bisa dilewati lebih jauh lagi oleh manusia dan merupakan tempat diputuskannya segala urusan yang naik dari dunia di bawahnya maupun segala perkara yang turun dari atasnya. Istilah ini disebutkan sekali dalam Al-Qur'an, yaitu pada ayat:
“ ...(yaitu) di Sidratil Muntaha. (An-Najm, 53:14) ”Sidrat al-Muntahā (Arab: سدرة المنتهى‎ , Sidratul Muntaha) adalah sebuah pohon bidara yang menandai akhir dari langit/Surga ke tujuh, sebuah batas dimana makhluk tidak dapat melewatinya, menurut kepercayaan Islam. Dalam kepercayaan ajaran lain ada pula semacam kisah tentang Sidrat al-Muntahā, yang disebut sebagai "Pohon Kehidupan".
Pada tanggal 27 Rajab selama Isra Mi'raj, hanya Muhammad yang bisa memasuki Sidrat al-Muntahā dan dalam perjalanan tersebut, Muhammad ditemani oleh Malaikat Jibril, dimana Allah memberikan perintah untuk Salat 5 waktu.
Sidrat al-Muntahā digambarkan sebagai Pohon Bidara yang sangat besar, tumbuh mulai Langit Keenam hingga Langit Ketujuh. Dedaunannya sebesar telinga gajah dan buah-buahannya seperti bejana batu. Menurut Kitab As-Suluk, Sidrat al-Muntahā adalah sebuah pohon yang terdapat di bawah 'Arsy, pohon tersebut memiliki daun yang sama banyaknya dengan sejumlah makhluk ciptaan Allah.
“ Ketika Sidrat al-Muntahā diliputi oleh sesuatu yang meliputinya (an-Najm, 53: 16)
Dikatakan bahwa yang menyelimutinya adalah permadani terbuat dari emas.
Jika Allah memutuskan sesuatu, maka "bersemilah" Sidratul Muntaha sehingga diliputi oleh sesuatu, yang menurut penafsiran Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu adalah "permadani emas". Deskripsi tentang Sidrat al-Muntahā dalam hadits-hadits tentang Isra Mi'raj tersebut hanyalah berupa gambaran (metafora) sebatas yang dapat diungkapkan kata-kata. Hakikatnya hanya Allah yang Maha Tahu.

Ketika Mi'raj, di sini Muhammad melihat banyak hal, seperti:

Dikatakan bahwa Muhammad telah melihat wujud asli dari Malaikat Jibril yang memiliki sayap sebanyak 600 sayap.

“ Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (An-Najm 53:13) ”



Untuk hal ini terdapat beda pendapat di kalangan ulama, apakah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melihat Tuhannya? Jika pernah apakah beliau melihat-Nya dengan mata kepala atau mata hati? Masing-masing memiliki argumennya sendiri-sendiri. Di antara yang berpendapat bahwa beliau pernah melihat-Nya dengan mata hati antara lain al-Baihaqi, al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, dan Syaikh al-Albani dalam tahqiq beliau terhadap Syarah Aqidah ath-Thahawiyah. Salah satu argumentasi mereka adalah hadits di atas.

Di Sidrat al-Muntahā ini Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam mendapatkan perintah salat 5 waktu. Perintah melaksanakan salat tersebut pada awalnya adalah 50 kali setiap harinya, akan tetapi karena pertimbangan dan saran Nabi Musa serta permohonan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri, serta kasih dan sayang Allah Subhahanu wa Ta'ala, jumlahnya menjadi hanya 5 kali saja. Di antara hadits mengenai hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud.
Dari Abdullah (bin Mas'ud), ia telah berkata: "Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam diisrakan, beliau berakhir di Sidratul Muntaha (yang bermula) di langit keenam. Ke sanalah berakhir apa-apa yang naik dari bumi, lalu diputuskan di sana. Dan ke sana berakhir apa-apa yang turun dari atasnya, lalu diputuskan di sana."
Ia berkata: "Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam diberi tiga hal: Diberi salat lima waktu dan diberi penutup Surah al-Baqarah serta diampuni dosa-dosa besar bagi siapapun dari umatnya yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun".

Dari Anas bin Malik, dari Malik bin Sha'sha'ah, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Diapun menyebutkan hadits Mi'raj, dan di dalamnya: "Kemudian aku dinaikkan ke Sidratul Muntaha". Lalu Nabiyullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengisahkan: "Bahwasanya daunnya seperti telinga gajah dan bahwa buahnya seperti bejana batu".
Kabil Akbar katanya: “Allah SWT telah menciptakan sebuah pohon di bawah Arsy yang mana daunnya sama banyak dengan bilangan makhluk yang Allah ciptakan. Jika seseorang itu telah diputuskan ajalnya, maka umurnya tinggal 40 hari dari hari yang diputuskan. Maka jatuhlah daun itu kepada Malaikat Maut, tahulah bahawa dia telah diperintahkan untuk mencabut nyawa orang yang tertulis pada daun tersebut.
Asy-Syaibani berkata: Aku menanyai Zirr bin Hubaisy tentang firman Allah Azza wa Jalla {maka jadilah dia dekat dua ujung busur panah atau lebih dekat . Dia menjawab: "Telah mengabariku Ibnu Mas'ud bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah melihat (bentuk asli) Jibril. Ia memiliki enam ratus sayap."
‘Arsy adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘arasya – ya‘risyu – ‘arsyan (عَرَشَ يَعْرِشُ عَرْشًا) yang berarti bangunan, singgasana, istana atau tahta. Di dalam Al-Quran, kata ‘Arsy itu disebut sebanyak 33 kali.
Kata ‘Arsy mempunyai banyak makna, tetapi pada umumnya yang dimaksudkan adalah singgasana atau tahta Tuhan. Kemudian arti dari kata tersebut dipakai oleh bangsa Arab untuk menunjukkan beberapa makna, yaitu:
Singgasana raja, tercantum dalam Surah An-Naml, 23.Inilah sebagian dari arti ‘Arsy dalam bahasa Arab, akan tetapi arti tersebut berubah-ubah sesuai dengan kalimat yang disandarinya.
Seorang ulama yang bernama Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar menjelaskan bahwa ‘Arsy merupakan ”pusat pengendalian segala persoalan makhluk-Nya di alam semesta”. Penjelasan Rasyid Rida itu antara lain didasarkan pada Al Qur'an:

“ ...kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy untuk mengatur segala urusan...(Yunus 10:3) ”

‘Arsy (Bahasa Arab عَرْش, ‘Arasy) adalah makhluk tertinggi tempat bersemayam Allah, berupa singgasana seperti kubah yang memiliki tiang-tiang yang dipikul oleh para Malaikat.

Pengertian ‘Arsy ini yang diyakini oleh para manhaj Salaf, berdasarkan Al Qur'an dan hadits Muhammad, sesuai dengan ayat:“ (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy.(Thaha, 20:5) ”Tetapi banyak ulama yang berpendapat beda dalam mengartikan makna dari ‘Arsy ini, apakah ‘Arsy itu berwujud fisik atau nonfisik.
Menurut manhaj salaf, ‘Arsy memiliki wujud yang teramat sangat besar, memiliki beberapa tiang yang menjadikan 'Arsy sebagai atap alam semesta. Wujud ini dicatat dalam beberapa hadits-hadits yang shahih. Saking besarnya ada malaikat yang memiliki sayap banyak, diperintahkan oleh Tuhan untuk terbang kemana saja yang ia kehendaki dan ia merasa tidak beranjak dari tempat semula ia terbang.



Allah berfirman kepada malaikat tersebut, "Sesungguhnya Aku telah menjadikan engkau memiliki kekuatan yang sebanding dengan kekuatan 7.000 malaikat." Malaikat itu diberikan 70.000 sayap. Kemudian, Allah menyuruh malaikat itu terbang. Malaikat itu pun terbang dengan kekuatan penuh dan sayap yang diberikan Allah ke arah mana saja yang dikehendaki Allah. Sesudah itu, malaikat tersebut berhenti dan memandang ke arah ‘Arsy. Tetapi, ia merasakan seolah-olah ia tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya terbang semula. Hal ini memperlihatkan betapa besar dan luasnya ‘Arsy Allah itu.
‘Arsy yaitu singgasana yang memiliki beberapa tiang yang dipikul oleh para Malaikat. Ia menyerupai kubah bagi alam semesta. 'Arsy juga merupakan atap seluruh makhluk.”
Nabi Muhammad bersabda: "Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti cincin yang dilemparkan di padang Sahara yang luas, dan keunggulan 'Arsy atas Kursi seperti keunggulan padang Sahara yang luas itu atas cincin tersebut."

Menurut syariat Islam, ‘Arsy terletak diatas surga Firdaus yang berada dilangit ke-7. Keyakinan ini bersumber dari salah satu hadits Muhammad. Muhammad bersabda kepada sahabatnya yang bernama Abu Hurairah “Apabila engkau memohon kepada Allah, maka mohon-lah kepada-Nya Surga Firdaus. Sesungguhnya ia (adalah) Surga yang paling utama dan paling tinggi. Di atasnya terdapat ‘Arsy Allah yang Maha Pengasih...”
Para malaikat pemikul ‘Arsy terkenal dengan nama Hamalat al-‘Arsy (Arab: حملات العرش) berjumlah empat malaikat, setelah kiamat akan bertambah menjadi delapan malaikat yaitu; Israfil, Mikail, Jibril, Izrail dan Hamalat al-‘Arsy.Didalam Al-Qur'an juga disebutkan para malaikat ini, dalam surah Al Haqqah 69 ayat 17:
“ Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung Arasy Tuhanmu di atas (kepala) mereka. (Al Haqqah, 69:17)
Berdasarkan hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud dari seorang sahabat Jabir bin Abdillah, wujud para malaikat pemikul singgahsana Allah sangatlah besar dan jarak antara pundak malaikat tersebut dengan telinganya sejauh perjalanan burung terbang selama 700 tahun.
Dikatakan pula dalam hadits, bahwa Hamalat al-'Arsy memiliki sayap lebih besar dan banyak dibandingkan dengan Jibril dan Israfil. Dikatakan bahwa Hamalat al-'Arsy memiliki sayap sejumlah 2400 sayap dimana satu sayapnya menyamai 1200 sayap Israfil, sedangkan Israfil mempunyai 1200 sayap, dimana satu sayapnya menyamai 600 sayap Jibril.
Di dalam perbincangan para ulama tradisional dengan ulama kontemporer dan modern, mereka masing-masing memiliki perbedaan pendapat dalam menafsirkan istilah 'Arsy ini. Mereka memperdebatkan apakah 'Arsy itu suatu nonmateri (nonfisik) atau materi (fisik).Para ulama tradisional lebih menyukai memahami 'Arsy sebagai suatu singgasana, dimana dari singgasana-Nya inilah Tuhan mengendalikan kekuasaan-Nya atas makhluk-makhluk-Nya, namun ulama-ulama tersebut juga lebih suka untuk tidak melakukan pembahasan lebih jauh mengenainya dan hanya mencukupkan urusannya kepada iman dan itu menjadi rahasia Allah saja.

Sejumlah ulama lain yang lebih moderat menolak penafsiran 'Arasy seperti yang telah disebutkan diatas tadi, karena menurut mereka Allah tidak membutuhkan tempat, ruangan dan juga tidak terikat dengan waktu. Jika dikatakan bahwa Allah duduk diatas 'Arsy maka berarti Allah memiliki wujud yang sama seperti makhluk-Nya yang memerlukan tempat tinggal dan tempat bernaung, padahal Allah Maha Suci dan Maha Mulia dari semua itu.