Teori Dan Fakta

BAB I
PENDAHULUAN


A.Latar Belakang Masalah
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bias merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi dan sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian timbul pertanyaan apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti dengan kemajuan ilmu pengetahuan manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri seperti yang terjadi di Bali, dan menciptakan senjata kuman yang dipakai sebagai alat untuk membunuh sesama manusia. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proposional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika ilmu tidak berpihak kepada nilai- nilai maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat.proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar benar dapat dimamfaatkan oleh masyarakt tentu tidak terlepas dari moral ilmuannya.untuk seseorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi atau kepentingan masyarakat akan membawa pada persolan etika keilmuan setam asalah bebas nilai.untuk itulah tanggungjawab seorang ilmuwan haruslah” dipupuk”dan berada pada tempat yang tepat,tanggungjawab akademis,dan tanggungjawab moral mengenal apa yang dimaksud aksiolgi,kami akan menguraikan beberapa difinisi tentang aksiologi.









BAB II
PEMBAHASAN


Pengertian Aksiologi
1. Aksiologi berasal dari perkataan Axios ( Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “ Teori tentang nilai”.
2. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suryasumantri Filasafat Ilmu sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
3. Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga sosio political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosiol politik.
4. Dalam Encliclopedya of Philosophy dijelaskan, aksiologi Value Valuation. Ada tiga bentuk value and Valuation.
a) Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak.
Dalam pengertian yang lebih sempit seperti: baik, menarik, dan bagus.Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.Penggunaan nilai yang lebih luas merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain, dan ia berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika. Lewis menyebutkan sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan seperti estetis dari sebuah karya seni, sebagai nilai intrinsic atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai nilai contributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi.Nilai sebagai kata benda konkret.ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai nilai,ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai,seperti nilainya,nilai dia,dan system nilai dia.kemudian di pakai untk apa apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.

b) Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi diatas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia. Seperti ungkapan “saya pernah belajar etika”. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal- hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain. Seperti ungkapan “ia bersifat etis atau seorang yang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila”.Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik didalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Nilai itu objektif atau subjektifkah adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolok ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan nilai hasil subjektif selalu mengarah pada sesuatu suka dan tidak suka, senang atau tidak senang. Misalnya seorang melihat matahari terbenam di sore hari. Akibat yang dimunculkannya adalah menimbulkan rasa senang karena melihat betapa indahnya matahari terbenam itu. Ini merupakan nilai yang subjektif dari seseorang dengan orang lain akan memiliki kualitas yang berbeda. Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada. Misalnya, kebenaran tidak tergantung pada pendapat individu, melainkan pada objektifitas fakta, kebenaran tidak diperkuat atau diperlemah oleh prosedur-prosedur. Demikian juga dengan nilai orang yang berselera rendah tidak mengurangi keindahan sebuah karya seni.
Gagasan aksiologi dipelopori juga oleh : Lotze Brentano, Husserl, Scheller, dan Nocolai Hatmann. Scheller mengontraskannya dengan praeksologi, yaitu pengertian umum mengenai hakikat tindakan, secara khusus bersangkutan dengan dientologi, yaitu teori moralitas mengenai tindakan yang benar. Dalam penilaiannya, terdapat dua bidang yang paling popular saat ini, yaitu yang bersangkutan dengan tingkah laku keadaan atau tampilan fisik.
Dengan demikian kita mengenal aksiologi dalam dua jenis, yaitu etika dan estetik
1. Etika adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilain atas perbuatan dari sudut baik atau jahat.etika dalam bahasa yunani ethos yang artinya kebiasaan atau habit atau custom.
2. Estetika merupakan bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas sesuatu dari sudut indah dan jelek,secara umum estetika mengkaji mengenai apa yang membuat rasa senang.
Menurut Dagobert Runes mengemukakan beberapa persoalan yang berkaitan dengan nilai yang menyangkut, hakikat nilai, tipe nilai criteria niai dan status metafisika nilai.Mengenai hakikat nilai banyak dikemukakan diantaranya teori voluntarisme teori ini mengemukakan bahwa nilai adalah suatu pemuasan terhadap suatu keinginan atau kemamuan. Menurut kaum hedonism menyatakan bahwa hakikat nilai adalah “pleasure” atau kesenangan. Semua manuasia mengarah pada kesenangan. Menurut formalism nilai adalah kemauan yang bijaksana yang didasarkan pada akal rasional. Menurut pragmatism, nilai itu baik apabia memenuhi kebutuhan dan memiliki nilai instrumental, sebagian alat untuk mencapai tujuan.
Sedangkan tipe nilai dapat dibedakan anatara nilaiinstinsik dan nilaiinstrumental. Nilai instrinsik merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan sedangkan nilai instrumental merupakan alat untuk mencapai nilai instinsik.
Sebagai contoh nilai instrinsik adalah nilai yang dipancarkan oleh suatu lukisan, dan shalat lima waktu merupakan nilai instrinsik dan merupakan suatu perbuatan yang sangat luhur. Nilai instrumentalnya bahwa dengan melaksanakan shalat akan mencegahperbuatan yang keji/jahat yang dilarang oleh Allah dan tujuan akhirnya mendapat kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Yang dimaksud dengan criteria nilai adalah sesuatu yang menjadi ukuran nilai, bagaimana nilai yang baik, dan bagaimana nilai yang tidak baik. Kaum hedisme menemukan nilai sejumlah” kesenangan” (peasure) yang dicapai oleh individu atau masyarakat.

Bagi kaum pragmatis, criteria nilai adalah”kegunaannya” dalam kehidupan, bagi individu atau masyarakat. Yang dimaksud metafisik nilai adalah bagaimana hubungan nilai- nilai tersebut dengan realitas dan dibagi menjadi tiga bagian :
1. Subyektivisme : Value is entirely dependent on and relative to
human experience of it.
2. Logical objektivisme, value are logical essences for subsistences, independent of their being known, yet not eksistesial status of action in relity;
3. Metaphysical objektivise, values or norms or ideals are integral objective an active constituents of the Metaphysical real.
Menurut objektivisme, nilai itu berdiri sendiri namun bergantung dan berhubungan dengan pengalaman manusia. Pertimbangan terhadap nilai berbeda antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Menurut objektivisme logis, nilai itu suatu kehidupan yang logis tidak terkait pada kehidupan yang dikenalnya, namun tidak memiliki status dan gerak di dalam kenyataan. Menurut objektivisme metafisik, nilai adalah suatu yang lengkap, objektif, dan merupakan bagian aktif dari realitas metafisik.
a. Karakteristik nilai
Ada beberapa karakteristik nialai yang berkaitan dengan teori nilai yaitu :
1) Nilai Objektif atau Subjektif
Nilai itu objektif jika ia tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai: sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada realisasi subjekyang melakukan penilaian, tanpa merpertimbangkan apakah ini bersifat pisikis atau fisik. suatu nilai dikatakan objektif apabila nilai tersebut memiliki kebenarannya tanpa memperhatikan pemilihan dan penilaian manusia. Contohnya : nilai-nilai baik, benar, cantik merupakan realitas alam, yang merupakan bagian dari sifat-sifat yang dimiliki oleh benda atau tindakan tersebut.
Nilai itu subjektif apabila nilai tersebut memiliki preferensi pribadi,dikatakan baik karena dinilai oleh seseorang.
2) Nilai dikatakan absolut atau abadi
Apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku secara absah sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas socio.
Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relative sesuai dengan harapan dan keinginan manusia yang selalu berubah, maka nilai itupun mengungkapkan perubahan-perubahan tersebut. Nilai berubah merespon dalam kondisi baru, ajaran baru, agama baru, penemuan-penemuan baru dalam sains dan teknologi, kemajuan dalam pendidikan dan lainnya.
b. Tingkatan Hierarki Nilai
Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan hierarki nilai: pertama, kaum idealis berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi dari pada non spiritual (nilai material). Mereka menempatkan nilai religi pada tingkat yang tinggi karena nilai religi membantu manusia dalam menemukan akhir hidupnya, dan merupakan kesatuan dengan nilai spiritual, Kedua kaum realis juga berpandangan bahwa terdapat tingkatan nilai, dimana mereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab mambantu manusia realitas objektif, hukum alam dan aturan berpikir logis, ketiga, kaum pragmatis menolak tingkatan nilai secara pasti. Menurut mereka suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental.Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja, ia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dan kebenaran ilmiahnya adalah sangat penting.Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, manusia terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan. Memang dengan jalan mempelajari teknologi seperti pembuatan bom atom manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energy dan keselamatan manusia tetapi di pihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu dipergunakan? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, apakah para ilmuwan harus berpaling pada hakekat moral? Bahwa ilmu itu berkaitan erat dengan persoalan nilai-nilai moral. Keterkaitan ilmu dengan nilai-nilai moral (agama) sebenarnya sudah terbantahkan ketika Copernicus mengemukakan teorinya “Bumi yang berputar mengelilingi matahari) sementara ajaran agama menilai sebaliknya maka timbulah interaksi antara ilmu dengan moral yang berkonotasi metafisik, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan, di antarnya agama. Timbulah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini, yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo, yang oleh pengadilan dipaksa untuk mencabut pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih 2,5 abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun waktu ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan “Ilmu yang bebas nilai”, setelah pertarungan itulah ilmuwan mendapatkan kemenangan dengan memperoleh keotonomian ilmu. Artinya kebebasan dalam melakukan penelitian dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatic, ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun konkret, seperti teknologi. Teknologi tidak diragukan lagi manfaatnya bagi manusia. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana dengan teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi, apakah ini merupakan masalah kebudayaan ataukah masalah moral? Apakah teknologi itu menimbulkan ekses yang negatif terhadap masyarakat. Dihadapkan dengan masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologism maupun aksiologis dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah pada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi ilmu secara total seperti pada waktu era Galileo. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanya terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya harus berlandaskan nilai-nilai moral.
Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:
1) Ilmu secara factual telah dipergunakan secara deduktif oleh manusia yang dibuktikan oleh adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi keilmuan.
2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan
3) Ilmu telah berkembang pesat sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan social.
Berdasarkan hal di atas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.Dari dua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitas ilmu terletak pada efistemologisnya saja, artinya tanpa berpihak pada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata.
Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok yang menakutkan.Etika keilmuan merupakan etika yang normative yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk ke dalam prilaku keilmuannya. Sehingga ia menjadi ilmuwan yang mempertanggung jawabkan prilaku ilmiahnya. Etika normatife menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada”elemen-elemen”) kaidah moral, yaitu hati nurani kebebasan dan tanggungjawab nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hatinurani disini adalah penghayatan tentang yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan prilaku manusia.nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu ? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum budaya dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggungjawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa teknologi, maupun teori-teori emansipasi masyarakat dan sebagainya itu, mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada ditengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya.Oleh karena itu, tanggungjawab lain yang berkaitan dengan penerapan teknologi dimasyarakat, yaitu menciptakan hal positif. Namun, tidak semua teknologi dan ilmu pengetahuan memiliki dampak positif ketika berada ditengah masyarakat. Kadangkala teknologi berdampak negatif, misalnya masyarakat menolak atau mengklaim suatu teknologi bertentangan atau tidak sejalan dengan keinginan atau pandangan- pandangan yang telah ada sebelumnya seperti rekayasa genetic (cloning manusia) yang dapat dianggap bertentangan dengan kodrat manusia atau ajaran agama. Dalam persoalan ini perlu ada penjelasan lebih lanjut. Bagi seorang ilmuwan apabila ada semacam kritikan terhadap ilmu, ia harus berjiwa besar, bersifat terbuka untuk menerima kritik dari masyarakat. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologi yang tepat.
Dibidang etika, tanggungjawab seorang ilmuwan, bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka menerima kritik, dan menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan kalau berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secara ilmiah. Ditengah situasi dimana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan harus tampil di depan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuwan harus bersikap seperti seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.kemudian bagaimana solusi bagi ilmu yang terkait dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Alloh, agar manusia menjadi sadar akan hakekat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan “melulu” pada praxis, pada kemudahan-kemudahan material duniawi. Solusi yang diberikan oleh Al-Quran terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan imu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudorat.berdasarkan sejarah tradisi islam ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan “melulu” untuk medesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaan yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada sang pencipta.tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau imuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambah kesenangan manusia dalam kehidupan yang terbatas dimuka bumi ini.menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu, untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan pangan, sandang, energi, kesehatan dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan umat manusia secara keseluruhan.

BAB III
KESIMPULAN

Aksiologi adalah ilmu yang mengkaji tentang nilai-nilai, baik yang bersifat atau obyektif, bersifat personal atau impersonal, baik nilai yang selalu berubah atau tetap. Adapun aksiologi terbagi menjadi dua kajian yaitu etika dan estetika.Etika the study of value in human conduct, estetika the study of value in the realms of beauty and art.Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian.Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika.Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.Ketiga, sosio political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.Dalam Encliclopedya of Philosophy dijelaskan, aksiologi Value and Valuation. Ada tiga bentuk value and Valuation:
1) Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti: baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
2) Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai,memberi nilai dan dinilai.
3) Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi diatas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai.
Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik didalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Gagasan aksiologi dipelopori juga oleh : Lotze Brentano, Husserl, Scheller, dan Nocolai Hatmann. Scheller mengontraskannya dengan praeksologi, yaitu pengertian umum mengenai hakikat tindakan, secara khusus bersangkutan dengan dientologi, yaitu teori moralitas mengenai tindakan yang benar. Dalam penilaiannya, terdapat dua bidang yang paling popular saat ini, yaitu yang bersangkutan dengan tingkah laku keadaan atau tampilan fisik. Dengan demikian kita mengenal aksiologi dalam dua jenis, yaitu etika dan estetika:
1) Etika adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilain atas perbuatan dari sudut baik atau jahat.etika dalam bahasa yunani ethos yang artinya kebiasaan atau habit atau custom.
2) Estetika merupakan bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas sesuatu dari sudut indah dan jelek,secara umum estetika mengkaji mengenai apa yang membuat rasa senang.
Menurut Dagobert Runes mengemukakan beberapa persoalan yang berkaitan dengan nilai yang menyangkut, hakikat nilai, tipe nilai criteria nilai dan status metafisika nilai.
a. Mengenai hakikat nilai
b. Tipe nilai dapat dibedakan anatara nilai instinsik dan nilai instrumental.Nilai instrinsik merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan sedangkan nilai instrumental merupakan alat untuk mencapai nilai instinsik.
c. Criteria nilai adalah sesuatu yang menjadi ukuran nilai, bagaimana nilai yang baik, dan bagaimana nilai yang tidak baik. Kaum hedisme menemukan nilai sejumlah” kesenangan” (peasure) yang dicapai oleh individu atau masyarakat.
d. Tingkatan Hierarki Nilai Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan hierarki nilai: pertama, kaum idealis berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi dari pada non spiritual (nilai material).
Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal,
yakni:
1. Ilmu secara factual telah dipergunakan secara deduktif oleh manusia yang dibuktikan oleh adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi keilmuan
2. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan
3. Ilmu telah berkembang pesat sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan social.
4. Berdasarkan hal di atas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.

Dari dua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitas ilmu terletak pada efistemologisnya saja, artinya tanpa berpihak pada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata.sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
anpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok yang
menakutkan.etika keilmuan merupakan etika yang normative yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk ke dalam prilaku keilmuannya.pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada”elemen-elemen”) kaidah moral, yaitu hati nurani kebebasan dan tanggungjawab nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hatinurani disini adalah penghayatan tentang yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan prilaku manusia.nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu ? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum budaya dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggungjawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis.
Dibidang etika, tanggungjawab seorang ilmuwan, bukan lagimemberi informasi namun harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka menerima kritik, dan menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan kalau berani mengakui kesalahan.
Berdasarkan sejarah tradisi islam ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan “melulu” untuk medesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaan yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada sang pencipta.Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya.. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan pangan, sandang, energi, kesehatan dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan umat manusia secara keseluruhan dimuka bumi.

DAFTAR PUSTAKA


Bakhtiar, Amsal, (2004). Filsafat Ilmu. PT Raja Grafindo Persada
Sadulloh, Uyoh, (2007) Filsafat Pendidikan.Bumi Siliwangi, Peerbit Cipta
Utama
A.Wiramiharja, Sutardjo, (2006). Pengantar Filsafat. Bandung. Rflika
Aditama.
Sumber internet : http://mswibowo.blogspot.com/2009/01/aksiologi-nilai-
dan-etika.html
Sumber internet : http://www.scribd.com/doc/9212538/makalah-aksiologi
Sumber internet : http://e-je.blogspot.com/2009/01/aksiologi.html