Pemikiran Imam Asya' Tiby

BAB I
Pendahuluan

A. Kehidupan Dan Pendidikan Al-Syatibi
Al-Syatibi adalah filosof hukum Islam dari Spanyol yang bermazhab Maliki.Nama lengkapnya, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi. Tempat dan tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti, namun nama al-Syatibi sering dihubungkan dengan nama sebuah tempat di Spanyol bagian timur, yaitu Sativa atau Syatiba (Arab), yang asumsinya al-Syatibi lahir atau paling tidak pernah tinggal di sana.
Dia meninggal pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun 790H atau 1388 M dan dimakamkan di Gharnata. Al-Syatibi tumbuh dewasa di Granada dan sejarah intelektualitasnya terbentuk di kota yang menjadi ibu kota kerajaan Banu Nasr ini. Masa mudanya bertepatan dengan pemerintahan Sultan Muhammad al-Gani Billah yang merupakan masa keemasan bagi Granada. Kota ini menjadi pusat perhatian para sarjana dari semua bagian Afrika Utara. Waktu itu, banyak ilmuwan yang mengunjungi Granada, atau berada di Istana Banu Nasr, di antaranya seperti Ibn Khaldun dan Ibn al-Khatib. Al-Syatibi hidup di masa banyak terjadi perubahan penting. Granada pada abad ke-14 mengalami berbagai perubahan dan perkembangan politik, sosio-religius, ekonomi dan hukum yang nantinya akan berpengaruh terhadap pola pikir dan produk pemikiran hukum al-Syatibi.
Dari aspek politik, perubahan sosial yang terjadi pada abad ke-14 disebabkan berkhirnya masa chaos pada abad ke-13 ketika terjadi invasi Mongol ke wilayah Timur Muslim dan pesatnya perkembangan Kristen di Barat Muslim. Dari penelitian Muhammad Khalid Mas’ud, keberhasilan Sultan Muhammad ghoni billah dalam menciptakan stabilitas politik dapat dipahami dari dua faktor.
Pertama, keberhasilannya menjaga stabilitas politik luar negerinya,sejumlah kerajaan Kristen di utara dan rival sesama kekuasaan Muslim di Afrika Utara,dengan cara selalu Mengganti perjanjian-perjanjian damai dan intrik-intrik dalam istana, friksi-friksi yang -berlomba-lomba mencuri kekuasaan.
Kedua,selalu memegang kendali kekuatan militer di internal kerajaan.Stabilitas politik ini menghasilkan situasi yang damai dan salah satu manfaatnya dalam dunia keilmuan adalah terkondisikannya kesempatan yang lebih luas untuk melakukan evaluasi dan produksi pemikiran.
Hal ini terlihat dengan lahirnya karya-karya masterpiece para intelektual muslim. Di Afrika Utara, Ibnu Khaldun (784 H/ 1382 M) menulis filsafat sejarah, di Syiria, Ibnu Taimiyah (728 H/ 1328 M) mengkaji ilmu politik dan teori hukum,di Persia, al-‘Iji (754 H/ 1355 M) meresistematisir teologi Sunni,dan di Spanyol,al-Syatibi memproduksi filsafat hukum Islam.
Beberapa tahun sebelumnya jatuhnya kekuasaan dinasti Muwahhidun menyebabkan chaos politik di Spanyol.Dalam kondisi krisis ini ada dua tokoh yang mucul ke panggung politik, Ibn Hud di Marcia dan Ibn al-Ahmar di Arjona.Ibn Hud adalah rival politik Ibn Ahmar setelah runtuhnya dinasti Muwahhidun.Setelah sempat menguasai sejumlah kota seperti Almeria, Malaga, Granada, Seville dan sebagian besar Spanyol, Ibn Hud dilantik oleh penguasa dinasti Abasiyyah yaitu al-Muntasir Billah. Namun selang beberapa tahun, Ibn Ahmar berhasil merebut tampuk kepemimpinan Ibn Hud kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 634 H.

Dan menyatakan diri sebagai Sultan Andalusia dengan menyandang gelar al-Galib Billah. Al-Galib Billah yang menjadi cikal Bani Nasr atau Bani Ahmar, menjadikan Granada sebagai pusat pemerintahan.Bani Nasr membangun pondasi politiknya dengan cukup kuat, terbukti bertahan sampai dua abad.
Hubungan diplomatik dengan luar negeri yang Kristen, Ferdinand III penguasa Castille, ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian atau genjatan senjata pada tahun 643 H. Namun di sisi lain, dia juga menyerukan jihad kepada suku-suku Afrika dan meminta back up kekuatan Bani Marin di Maroko, sebagai dinasti terkuat pasca dinasti Muwahidun. Kondisi strategis ini bertahan hingga kekuasaan beralih ke putra mahkota yaitu al-Gani Billah.Di masa Gani Billah, fuqaha memiliki posisi kuat dalam konstelasi perpolitikan. Hal ini merupakan ciri khas dalam sejarah Islam di Spanyol. Kondisi ini merupakan salah satu sebab mengapa mazhab Maliki menjadi mazhab negara waktu itu. Meskipun demikian, kehidupan masyarakat Granada tidaklah sekonservatif para elit ulamanya di strukutur politik.
Masyarakat cukup inklusif dan fleksibel dalam relasi sosialnya, mengingat interaksinya dengan orang-orang Kristen cukup intens baik dalam relasi sosial maupun bisnis.Status quo para fuqaha dengan otoritas syari’ahnya ini mendapat perlawanan dengan bermunculannya gerakan-gerakan tasawuf, filsafat dan teologi. Tiga orang dari gerakan tasawuf, Abu Bakar Muhammad dari Cordoba, Ibn al-Arif dari Almeria dan Ibn Barrajan dari Seville berhasil ditumpas. Ibn Barrajan mengkritik fuqaha Maliki yang sangat mengabaikan hadis. Gerakan-gerakan ini juga kelak mempengaruhi kedinamisan pemikiran al-Syatibi. meskipun Muhammad Makhluf menjadikannya sebagai ulama Maliki tingkatan ke-16 cabang Andalus, tetap menghargai ulama-ulama madzhab lainnya termasuk madzhab Hanafi yang saat itu selalu menjadi sasaran tembak nomor satu. Bahkan, dalam berbagai kesempatan ia sering memuji Abu Hanifah dan ulama lainnya.
Kitab al-Muwafaqot fil Usul al-Syari‘ah sendiri disusun oleh al-Syatibi dalam rangka menjembatani ketegangan yang terjadi saat itu antara Madzhab Maliki dan Hanafi.
Al-Syatibi pernah menentang para ulama Granada saat itu. Ia mencoba meluruskan dan mengembalikan bid’ah ke sunnah serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran. Perseteruan sengit antara al-Syatibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat terelakkan. Setiap kali dia berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih dahulu kepada nas}. Karena itulah, dia dilecehkan, dicerca, dikucilkan dan dianggap keluar dari agama. Tidak terjebak pada oposisi biner dengan kekuasaan,ia juga mengkritik gerakan tasauf para ulama yag menyimpang saat itu.Fatwa al-syatibi tentang Praktek tasauf yang menyimpang ini juga di kuatkan oleh seorang ulama ahli tasauf saat itu abu-alhasan al-nawawi.
Al-Syatibi juga menyoroti (ta‘asub)berlebihan yang dipraktekan para ulama Granada dan masyarakat Andalusia terhadap madzhab Maliki. Mereka memandang setiap orang yang bukan madzhab Maliki adalah sesat. Sebagaimana diketahui bersama bahwa masyarakat Andalus memegang erat madzhab Maliki ini sejak raja mereka Hisyam al-Awwal bin Abdurrahman al-Dakhil yang memerintah pada tahun 173-180H menjadikan madzhab ini sebagai madzhab negara.Al-Syatibi mengawali pendidikannya dengan belajar tata bahasa dan sastra Arab kepada Abu Abd Allah Muhammad bin Ali al-Fakhkhar, seorang pakar tata bahasa di Andalusia.
Pengalaman tinggal bersama gurunya sampai dengan tahun 754 H/ 1353 M dan tentang pelajaran-pelajaran yang didapatnya terrekam dalam kitab yang disusunya yang berjudul al-Ifadat wa al-Irsyadat atau Insya’at. Dari kitabnya ini dapat dilihat bahwa al-Syatibi mengusai ilmu bahasa dan sastra dengan cukup qualified. Guru bahasanya yang kedua adalah Abu al-Qasim al-Syarif al-Sabti (760 H/ 1358 M), ketua hakim di Granada yang dikenal dengan sebutan membawa Pedoman Berpidato.
Mulai belajar fikih pada tahun 754 H/ 1353 M, al-Syatibi berguru kepada Abu Sa’adah Ibn Lubb yang kepada orang inilah hampir seluruh pendidikan ke-fikih-annya diselesaikan. Ibn Lubb adalah fakih yang terkenal di Andalusia dengan tingkat ikhtiyar, atau keputusan melalui pilihan dalam fatwa.Sejarah pendidikan al-Syatibi banyak diwarnai oleh sarjana-sarjana terkemuka di Granada dan para diplomat yang mengunjungi Granada.
Di antara sarjana tersebut yang perlu disebutkan adalah Abu Abd Allah al-Maqqari yang datang ke Granada pada tahun 757 H/ 1356 M karena diutus oleh Sultan Banu Marin sebagai diplomat. Ia adalah penulis sebuah buku tata bahasa Arab. Ia dikenal sebagai pakar dalam bidang aplikasi prinsip-prinsip umum aliran Maliki untuk kasus-kasus khusus. Interaksi intelektualitasnya dengan Maqqari diawali dengan diskursus Razisme dalam ushul fikih Maliki. Maqqari juga orang yang mempengaruhinya dalam tasawuf.
Dua guru al-Syatibi yang memperkenalkannya kepada filsafat, ilmu kalam dan ilmu-ilmu lain yang dikenal dalam klasifikasi ilmu pengetahuan Islam yakni ilmu pengetahuan tradisional, al-‘Ulum al-Naqliyyah adalah Abu Ali Mansur al-Zawawi dan al-Sharif al-Tilimsani (W 771 H/ 1369M). Abu Ali Mansur al-Zawawi datang ke Granada pada tahun 753 H/ 1352 M. Namun, karena sering berdebat dengan ahli-ahli hukum di Granada, akhirnya pada tahun 765 H/1363 M, ia dideportasi dari Andalusia. Al-Sharif al-Tilimsani adalah ilmuwan yang kritis terhadap faham Razi. Ia belajar bersama Abili dan mengambil konsentrasi studi ilmu pengetahuan rasional.
Motifasi Al-Syatibi mempelajari ushul fikih berawal dari kegelisahannya yang menganggap kelemahan fikih dalam menjawab tantangan perubahan sosial terutama dikarenakan oleh metodologi dan filsafatnya yang kurang memadai. Salah satu masalah yang paling membuatnya gelisah adalah keragaman pendapat di kalangan ilmuwan tentang berbagai persoalan.
Penggunaan prinsip mura‘ah al-khilaf atau inklusifitas perbedaan pemikiran yang digunakan sebagai wujud penghargaan atas perbedaan pendapat dengan cara perlakuan yang sama justru membuat masalah menjadi semakin kompleks.Al-Syatibi mengangap dengan mura‘ah al-khilaf,
Badan hukum seperti tanpa jiwa, formalismenya akan tetap tanpa realitas jika sifat riil teori hukum tidak diselidiki. Hukum akhirnya menjadi realitas tersendiri yang terlepas dari realitas kebutuhan akan aturan main dalam rangka mendapatkan kemaslahatan dan kemudahan hidup.
Karya-karyanya merupakan hasil refleksi kegelisahannya ini.
Pola pikir radikal dan fatwa-fatwa kontroversial al-Syatibi membuatnya diposisikan sebagai oposisi kekuasaan oleh para fuqaha yang mayoritas pro kekuasaan. Sejumlah persoalan yang menjadi kontroversial di antaranya tentang tasawuf dan fikih. Al-Syatibi menentang praktek tasawuf yang ekstrim sampai dicampuradukkan dengan fikih, misalnya pewajiban melakukan ritual tasawuf tertentu dalam shalat sedangkan pewajibannya punya pengertian wajib secara syar’i, pewajiban zuhud secara umum atau kepada semua muslim, kepercayaan akan superioritas seorang Syaikh atas semua pemimpin aliran lain.
Al-Syatibi juga menentang praktek penyebutan nama sultan tertentu dalam do’a-do’a. Al-Syatibi menganggap bahwa praktek tersebut lebih bernuansa politis daripada ibadah. Al-Syatibi merupakan ilmuwan yang mampu menguasai berbagai disiplin ilmu dan menguasainya secara komprehensif. Menurut Abu al-Ajfan, ini disebabkan al-Syatibi telah menguasai metode ‘ulum al-wasa’il wa ‘ulum al-maqasid atau metode esensi dan hakikat.
Dari sedikit review latar belakang kehidupan dan profil al-Syatibi di atas dapat dipahami bahwa al-Syatibi memiliki bangunan keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan dan telah teruji melalui perjalanan sejarah yang melatarbelakanginya. Tidak mengherankan jika al-Muwafaqat menjadi referensi di sebagian besar kalangan ilmuwan modern.
BAB II
Karya-Karya Al-Syatibi
Muwafaqoot, karya terbesar Imam Syatibi, merupakan karya ilmiyah dalam bidang ushul fiqh sekaligus salah satu bentuk reformasi ilmiyah syariah secara menyeluruh.Buku ini, bukan hanya menjelaskan dasar- dasar ilmu ushul fiqh dengan metodologi baru yang berlandaskan penelitian penuh ( istiqra’) dari sumber utama Syareah Islamiyah ( Kitab dan Sunnah ) , tapi juga menjelaskan dasar-dasar utama untuk memahami Syareah Islamiyah secara menyeluruh.
Alquran karim yang merupakan pedoman utama umat Islam berisikan pokok-pokok ajaran Islam secara global, kemudian dijelaskan oleh As Sunah,yang keduanya menggunakan bahasa Arab. oleh karenanya, bagi siapa saja yang ingin memahami kedua kitab tersebut, harus memahami bahasa Arab.Syare’ah Islamiyah yang diturunkan kepada umat manusia bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia supaya lebih baik. Syare’ah diturunkan ke dunia ini agar terjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta manusia, yang kesemuanya itu merupakan unsur utama kehidupan manusia,.Tanpanya barangkali manusia akan punah. Kelima unsur penting tersebut disebut “ Dhoruriyat Khomsah “.Syare’ah juga diturunkan untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan manusia yang kalau tidak disediakan,.
Maka manusia akan hidup dalam keadaan susah dan payah, yang terkenal kemudian dengan “ Hajiyat “ begitu juga diturunkan untuk memperhatikan “ Tahsinaat “ yang menganjurkan makarimul akhlak dan perbuatan baik.Seluruh pembahasan fiqih, bahkan pembahasan syareah secara keseluruhan tidak akan bisa dilepaskan dari tiga permasalahan diatas. Oleh karenanya, setiap orang Islam diharapkan mampu meletakkan tiga tujuan utama kehidupan itu pada proporsinya masing-masing. Memprioritaskan masalah yang paling penting kemudian yang penting dan kurang penting dan seterusnya. Salah di dalam meletakkan unsur-unsur tadi, merupakan sebuah kegagalan di dalam memahami syareah, sekaligus kegagalan di didalam bertindak.
Oleh karenanya, kalau seseorang hendak mengetahui semua hal itu secara sempurna, tidaklah cukup hanya mengetahui dalil-dalil syare’ah secara sepihak dan sepenggal, akan tetapi dia harus memahami dalil-dalil syareah tersebut secara menyeluruh dan menjadikan dalil-dalil tersebut satu kesatuan yag tidak dapat dipisah-pisahkan. Allah sendiri telah memberikan isyarat dan pesan seperti ini di dalam salah satu firman-Nya :
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kedalam Islam secara keseluruhan “ ( QS.Al Baqarah : 208 )

Ini juga di kuatkan dalam ayat lain :

“Apakah engkau beriman kepada sebagian isi kitab dan mengkafiri sebagian yang lain ? “ (QS.Al Baqarah : 85 )

Dari keterangan diatas, bisa dikonklusikan bahwa untuk memahami Syareah Islam ini dibutuhkan dua perangkat yang sangat urgen : pengetahuan tentang bahasa Arab dan pengetahuan tentang tujuan diturunkannya syareah dan penempatan segalanya menurut prioritas yang dimaukan syareah.Adapun masalah yang pertama , banyak ulama yang telah memperhatikan dan membahasnya , baik itu dalam bentuk kaidah-kaidah bahasa Arab, dalam ilmu Nahwu dan Shorof, maupun dalam bentuk yang lebih mendetail lagi di dalam ilmu ushul fiqh.Akan tetapi sangat di sayangkan, sebagian besar ulama tidak banyak membahas secara lengkap dan sistematis masalah maqhosid ini , selama 3 abad lebih mereka tenggelam di dalam methodologi ushul fiqih yang telah diletakkan oleh para pendahulunya,
Sehingga datanglah Imam Syatibi pada abad ke 8,meletakkan batu pertama dalam masalah ini.
Memang harus di akui bahwa pembahasan maqhosid sendiri sebetulnya telah disentuh, walau sekilas, oleh sebagian ulama, seperti Imam Tirmidzi di dalam bukunya “ As -Sholat wa Maqhoshiduha”, Abu Manshur Al Maturudy di dalam “ Ma’khod Syarai’ “, Abu Bakar Qoffal As- Syasyi di dalam “ Mahasin Syare’ah “ , Al Baqilani di dalam “ Ahkam wa ‘ilal “, Al Qhodhi Husain di dalam “ Asror Fiqih” nya, Imam Haromain di dalam “ Burhan “ , dan generasi sesudahnya seperti Imam Ghozali, Fakhruddin Ar Rozi, Saifuddin Al Amidi, Ibnu Hajib, Isnawi, dan Ibnu Subki.Selain ulama ushul di atas, terdapat ulama-ulama muhaqiqun yang sebenarnya lebih banyak perhatiannya kepada masalah maqhosid dari pada mereka, yang karya- karya mereka justru pada akhir- akhir ini dijadikan rujukan dan reverensi utama oleh banyak ulama kontemporer di dalam banyak karyanya, mereka itu adalah : Izuddin Abdus Salam dengan bukunya “ Qowaid Ahkam fi Masholih Al anam”, dan muridnya “ Syihabuddin Al Qorrofi “ di dalam “ Al furuq “, begitu juga Ibnu Taimiyah di dalam “ Majmu’ Fatawa “ dan muridnya Ibnu Qoyyim di dalam “ I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil Alamin “ .
Dari situ, kita mengetahui betapa pentingnya buku ini bagi siapa saja yang ingin memahami Syreat Islamiyah secara benar.Muwafaqot adalah nama asli dari karya Imam Syatibi ini, tetapi beberapa ulama dan muhakikin menambahkannya dengan “ Muwafaqot fi Ushul Syareah’ seperti yang ditulis Syekh Daraz, juga “ Muwaqot fi Ushul Ahkam” sebagaimana ditulis oleh Muhyidin Abdul Hamid.




Tentang Isi Buku Muwafaqat
Adapun buku muwafaqot sendiri terdiri dari 5 bagian yang dibagi menjadi 4 buku dan dijadikan 2 jilid.
I / Pembukaan
Pembukaan ini terdiri dari 13 kaidah dan 5 pasal berisikan tentang pembahasan dasar-dasar ilmu ushul fiqh, sebagai pengantar menuju substansi yang sebenarnya. Diantaranya:
1. Bahwa masalah-masalah di dalam ushul fiqih semuanya berdasarkan dalil-dalil qoth’i, tidak dhonni, karena berdasarkan masalah- masalah kuliyat, yang tak terbantahkan ( yaitu : Dhoruriyat, Hajiyat dan Tahsinat ). Sebagaimana Ijma’ merupakan dalil qhot’I, walaupun ijma’ itu sendiri pada hakekatnya kumpulan dari perorangan yang mungkin kalau berdiri sendiri akan lemah dan tidak bisa dijadikan sandaran syar’i.
2. Dalil-dalil aqli di dalam masalah ushul tidak digunakan kecuali digabungkan dengan dalil naqli.
3. Setiap dasar syareah yang belum ada nash akan tetapi sesuai dengan ruh syareah, maka dasar tersebut itu boleh dipakai.
4. Semua permasalahan yang diletakkan didalam ushul fikih, tetapi tidak bisa dijadikan dasar untuk menjabarkan fikih, maka peletakkannya adalah hanya membuang energi dan tidak banyak manfaatnya. ( seperti masalah mubah apakah taklif atau tidak dan masalah siapa yang meletakkan bahasa pertama kali ).
5. Sebagaimana diterangkan juga bahwa menyibukkan diri di dalam banyak teori ilmu secara umum tanpa ada kaitannya dengan amal perbuatan, itupun tidak banyak manfaatnya dan bertentangan dengan maksud diturunkannya syareat itu sendiri.
6. Dan lain-lainnya .

II / Kitab Ahkam ,
Kitab ini terdiri dari : Ahkam Taklifiyah dan Wadh’iyah.

III / Kitab Maqhosid
Di dalam kitab ini dijelaskan secara terperinci bahwa Syare’ah Islamiyah ini diturunkan kepada manusia semata-mata untuk kesejahteraan mereka. Karena berisikan kaidah-kaidah umum tentang kehidupan manusia, peraturan dan batas-batas yang semua manusia wajib mentaatinya dan melaksanakannya agar kehidupan mereka teratur, tertib dan aman. Sekilas nampaknya ajaran- ajaran di dalam agama Islam memberatkan dan mengikat kebebasan manusia. Tapi sebenarnya yang konsisten dengan ajarannya justru orang yang paling bebas dan paling tenang, karena seluruh ajarannya baik yang kecil maupun yang besar mengandung maslahah bagi manusia itu sendiri, walau dia tidak menyadarinya. Sebaliknya, yang keluar dan tidak mentaati aturan –aturan didalamnya, akan terikat dan terbeleggu dengan nafsunya, yang walau kelihatannya enak dan menyenangkan tetapi pada hakekatnya adalah kerugian dan madhorot.
Orang yang paling mengetahui maslahat dan mafasid pada suatu kasus adalah para ulama yang telah menguasai ilmu syareah dan mengetahui betul hikmah dibalik hukum-hukum yang terkandung di dalam ajaran-ajaran Islam. Diantaranya :
1. Bahwa untuk menjaga syareat ini secara keseluruhan, maka unsur-unsur di dalamnya harus dijaga walau sekecil apapun. Karena kuliyat dan juziat di dalam ajaran Islam merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
2. Begitu juga bahwa Syareat Islamiyah ini diturunkan dalam bahasa Arab.
3. Sengaja di pilih bahasa Arab , karena hanya bahasa Arab saja yang mempunyai “ma’na tab’I “ ( makna tersirat ) yang paling mendetail di dalam susunan kata- katanya. Dan itu tidak dimiliki bahasa- bahasa lainnya. Oleh karenanya, tidak dibolehkan, bahkan tidak akan bisa menerjemahkan Alquran secara letterligh ke dalam bahasa lain. Yang bisa (dan dibolehkan hanyalah menafsirkan kandungan Al quran secara global.
4. Alquran – walaupun berbahasa Arab- akan tetapi diturunkan kepada umat umiyyin ( yang tidak pandai membaca dan menulis ), oleh karenanya hendaknya cara memahami Al Quran harus di sesuaikan dengan pemahaman mereka. Maksudnya tidak bertele-tele di dalam membahas sebuah lafadh, tapi cukup mengetahui maksud dari kalimat tersebut. Dan inilah rahasia kenapa Al Quran diturunkan dengan tujuh huruf. Oleh karena itu, Umar bin Khottob ketika ditanya tentang arti “ abba “ dalam ayat ( wafaakihata wa abba) beliau menjawab : kita tidak diperintahkan untuk bertele-tele seperti itu. Bahkan beliau menghukum seorang yang bernama Dhobii’ , karena selalu menanyakan makna ( walmursalaati ) dan ( wal ashifat ) .
5. Begitu juga di dalam memahami masalah aqidah, termasuk di dalamnya ayat-ayat sifat dan mutasyabihat, cukup dipahaminya secara umum tanpa tenggelam di dalam masalah-masalah yang pelik.
6. Dalam furu’ yang berhubungan dengan ibadah amaliyah, Alquran meletakkan kaidah-kaidah yang bisa dipahami orang awam, seperti tanda untuk mengetahui datangnya waktu-waktu sholat, puasa dengan tenggelamnya matahari atau terbitnya bulan.
7. Syareat Islam yang diturunkan kepada umat manusia ini mudah dilaksanakan oleh siapapun juga, karena tidak membebani seseorang kecuali menurut kadar kemampuannya.
8. Ajaran- ajarannya sangat indah, tidak ada yang perlu ditakutkan. Toh kalau ada beberapa hukuman yang dirasakan secara sekilas oleh sebagian orang sifatnya kejam dan tidak berperikemanusian, seperti hukum potong tangan dan hukum rajam, sebetulnya itu didasari rasa kasihan dan pandangan yang lebih jauh, yaitu maslahat yang lebih besar yang akan di dapatinya jika hukuman-hukuman tersebut dilaksanakan. Sebagaimana seorang dokter yang memotong sebagian anggota tubuh pasien untuk menyelamatkan hidupnya.
9. Begitu juga Islam mengajak manusia untuk masuk ke dalam komunitasnya, mengikuti ajaran-ajarannya, meninggalkan hawa nafsunya agar tercapai kemaslahatan dunia dan akhirat.
10. Karena kemaslahatan dunia ini tidak akan mungkin bisa ditegakkan kecuali dengan mengekang hawa nafsu, sebagaimana yang sudah disepakati oleh orang-orang yang berakal.
11. Oleh karenanya, mengikuti bisikan hawa nafsu merupakan sumber kerusakan dunia dan akhirat, dan apabila masuk ke dalam amalan ibadah, maka akan membawa mafsadah yang besar, sebagiamana orang yang menjadikannya sebagai sarana dan batu loncatan untuk mencapai hawa nafsunya.
IV/ Kitab Tentang Dalil .
Kitab ini dibagi menjadi dua bagian :
A/ Tentang kaidah-kaidah umum dalam menggunakan dalil.
1. Di dalam menentukan sebuah hukum, hendaknya tidak hanya menggunakan dalil secara parsial, akan tetapi harus memperhatikan dulu kuliyatul syari’ah – sebagaimana yang sudah disebutkan diatas – kalau tidak, maka akan terjadi kesalahan dan berakibat fatal dalam penerapannya.
2. Sebaliknya juga, kita tidak bisa hanya mengandalkan kuliyat syari’ah tanpa melihat dalilnya secara mendetail, karena kadang otak manusia terlalu pendek untuk bisa mengetahui semua maslahat secara mendetail.
3. Setiap dalil syar’i yang masih mutlak, maka penafsirannya diserahkan kepada mukallaf, atau yang dikenal dengan istilah ( ma’qulatul ma’na ), tentunya harus dikembalikan kepada maksud tujuan syareat itu sendiri. Sedang yang muqoyyad, yaitu masalah (ta’abbudi ), maka penafsirannya diserahkan kepada syareat dan tidak boleh diakal-akali, walaupun sebenarnya seorang mukallaf boleh mencari hikmah dan tujuan dari ibadat tersebut .
4. Amalan sahabat dalam suatu ibadah juga boleh menjadi pertimbangan di dalam mengambil dalil syar’i .
5. Harus dibedakan antara hukum asli dalam suatu masalah dengan hukum yang ditetapkan karena pertimbangan lain.
B/ Pembahasan tentang dalil secara lebih terperinci.
1/ Yang berhubungan dengan Al Qur’an
- Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih,
Menurut Imam Syatibi, Al-Muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas dan tidak perlu dita’wilkan lagi, seperti : khos, muqoyyad, mubayyan, muawaal. Al- Muhkamat ini merupakan mayoritas isi Al-Qura’n. Sedang Al-Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang masih umum, global dan belum jelas, seperti : dhohir, aam, mujmal,mutlak , dan ini sangat sedikit sekali dalam Al Qur’an. Oleh karenanya, untuk memahami Al-Mutasyabihat ini harus merujuk kepada ayat-ayat yang Muhkamat.
- Al Makiyah dan Al Madaniyah
Pengetahuan terhadap ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah dalam Al- Quran – begitu juga dalam hadits – sangat urgen sekali di dalam mengistimbatkan suatu hukum, karena Makiyah bersifat kuliyah, sedang Madaniyah bersifat juziyah yang dimungkinkan terjadinya naskh dan mansukh. Dalam arti lain bahwa hukum-hukum yang diturunkan di Madinah, walaupun kadang bersifat kuliyat dan umum, tapi sebenarnya hanya merupakan bagian ( cabang ) dari kuliyat dan keumuman hukum-hukum yang diturunkan di Makkah.
2/ Yang berhubungan dengan As-Sunnah
As_Sunnah merupakan keterangan rinci yang ada pada Al Qur’an, maka tidak boleh seseorang memakai dalil dari Al Qur’an saja, tanpa memperhatikan keterangan As- Sunnah, sebagaimana yang sering dilakukan para ahli bid’ah. Berkata Umar bin khottob : “ Akan datang suatu kaum yang akan mendebat kamu dengan syubhat Al-Qur’an, maka jawablah mereka dengan Al-Hadits “
Masalah-masalah yang masih global dalam Al Quran akan dijelaskan oleh Al Hadits dengan cara yang beragam, diantaranya adalah :
Dengan menerangkan ayat-ayat yang dimungkinan akan terjadi salah paham dalam memahaminya seperti : hukum seputar anjing pemburu, nikah tanpa wali, dan lain-lainnya.
Dengan cara menganalogikan hal-hal yang belum disebut di dalam Al Qur’an, dengan apa yang telah disebutkan seperti : hukum menikahi seorang perempuan dengan bibinya dalam satu waktu, hkum menggunakan air laut, hukum haramnya kota Madinah, dan lain-lainnya.
Dengan menjelaskan hal-hal yang masih global dalam Al Qur’an seperti : menjelaskan arti iddah dalam perceraian, menjelasakan urutan Shofa dan Marwa dalam ibadah haji, menjelasakan maksud benang hitam dan putih dalam penentuan waktu puasa, menjelsakan maksud dari Sholat Al Wustho









V/ Kitab Ijtihad
Ijtihad ada dua macam :
1/ Ijtihad yang tidak akan mungkin putus sampai hari kiamat.
Bentuk ijtihad ini berkisar kepada “ tahqiq al manat “ yaitu mencari menentukan illat atau sifat yang telah disepakati pada suatu obyek, seperti kriteria adil, faqir, miskin, besar kecilnya nafakah yang wajib diberikan suami kepada istrinya). Ini semua tergantung pada perorangan dan kondisi masing . Di sini ijtihad mutlak diperlukan bagi siapa saja yang ingin menentukan hukum pada masalah tersebut.
2/Ijtihad yang mungkin terhenti dan tertutup. Ini ada tiga macam :
1. “ Tanqih al Manat “ yaitu, penyaringan suatu alasan hukum dengan cara meniadakan perbedaan satu dengan yang lainnya, seperti : meniadakan perbedaan antara budak laki-laki dan perempuan .
2. “ Takhrij al Manat “, yaitu menentukan alasan dari sebuah hukum, seperti menentukan alasan diharamkannya khomr, menentukan alasan larangan membentak orang tua, dan lain-lainnya.
3. “Tahqiq al Manat “, yaitu menerapkan alasan tersebut pada masalah-masalah yang belum disebut hukumnya dalam Al Qur’an atau Al Hadist .
Yang berhak berijtihad adalah orang yang menguasai dua hal, salah satunya adalah “ maqhosid syareah “ adapun yang kedua : adalah kemampuan berijtihad dengan syarat-syaratnyanya. Oleh karena itu kita dapatkan orang yang tidak memiliki dua keahlian ini pendapat-pendapatnya sangat jauh dari kebenaran dan lebih cenderung semrawut dan kontradiksi.
Kadang kesalahan pendapat setelah berijtihad, disebabkan kaburnya beberapa masalah dari mujtahid dan kadang juga karena mujtahid belum membaca masalah tersebut secara umum. Oleh karena itu kesalahan seorang mujtahid/ alim , tidak boleh dijadikan sandaran dan tidak boleh diikuti.Di dalam bukunya Muwafaqot,
Imam syatibi telah membuka lebar- lebar peluang bagi ulama- ulama syare’ah untuk terus menggali rahasia-rahasia Syareat Islam ini secara lebih luas dan luwes. Imam Syatibi telah memberikan jalan kepada mereka untuk selalu memanfaatkan kuliyat dan juziyat di dalam menetapkan hukum- hukum syare’at. Barangkali cukup apa yang dikatakan Syekh Muhammad Fadhil ibnu Asyura : “ Sesungguhnya Imam Syatibi di dalam bukunya Muwafaqot, telah mampu membangun proyek raksasa di dalam Tsaqofah Islamiyah,
Darinya kita mampu melihat cara- cara untuk menjaga agama ini, yang belum disadari oleh sebagian besar orang-orang sebelum Imam Syatibi. Sehingga ulama-ulama yang konsen di dalam penggalian rahasia-rahasia syrare’at setelahnya bisa dikatagorikan sebagai pengikutnya, Mulai nampak kelebihan –bukunya pada saat ini – dan juga pada masa sebelumnya-dengan keadaan yang menakjubkan, ketika dunia Islam pada masa kebangkitannya -dihadapkan pada problematika penyelarasan antara hukum syareat dengan perkembangan zaman, maka buku muwafaqot hadir untuk memberikan jawabannya.”Benar saja, buku muwafaqot ini telah menarik perhatian banyak orang, semenjak zaman dahulu maupun sekarang, walupun kwalitas dan keberadaan buku tersebut baru –baru terbukti dan teruji pada akhir- akhir ini.
Diantara penulis lama yang memperhatikan buku ini adalah salah satu muridnya , Abu Bakar bin Ashim yang telah meringkasnya di dalam buku yang berjudul “ Al Muna fi ikhtishori muwafaqot”, ada juga muridnya yang menjadikannya nadhum dan prosa, seperti “ nail Muna minnal muwafaqot “ dan “ muwafiq al muwafaqoot “ kemudian dijelaskan di dalam buku “ al murofiq ala muwafiq Tidaklah berlebihan kalau kita katakan bahwa sebaik-sebaik yang telah Imam Syatibi persembahkan kepada kita lewat bukunya muwafaqoot adalah metodologi pemahaman Al Quran dan Sunnah yang menyeluruh dan konperehensif.
Paling tidak buku muwafaqot ini bisa kita jadikan “ al qoidah “ untuk merubah cara berpikir kita yang sering menyibukkan diri dengan masalah prasial kepada cara berpikir secara kuliyyat ( menyeluruh ) , dari perhatian kita yang begitu besar terhadap hal-hal yang sifatnya formalitas menuju perhatian kita kepada inti dan substansi , merubah kadaan kita yang telah terlalu lama tenggelam di dalam mengejar sarana menuju keadaan yang lebih baik, yaitu selalu mengedepankan tujuan., merubah kebiasaan dalam mempertahankan status quo dan taqlid menuju generasi yang selalu kreatif dan penuh inisiatif.
Sebagaimana yang pernah dikatakan seorang Ibnu Mas’ud kepada para sahabatnya : ( Bahwa engkau kini berada pada zaman yang banyak fuqoha’nya sedikit qurro’nya, dijaga di dalamnya hukum-hukum al Quran, walau kadang terlepas haurufnya, sedikit yang minta-minta , banyak yang memberi, yang memanjangkan sholat dan memendekkan khutbah, yang mendahulukan amalnya sebelum hawa nafsunya, Dan akan datang nanti sebuah generasi yang sedikit fuqoha’nya , banyak sekali quroo’nya, diperhatikan bacaan qurannya tapi di langgar hukum- hulmnya., banyak yang minta-minta sedikit yang memberi, banyak bicara, pendek sholatnya, mendahulukan hawa nafsunya atas amalannya )










KEPUSTAKAAN
Ibnu Abd As-Salam, Qawaid Al-Ahkam.hal.47.bairut.1987
Al-Imam As-Dsahabi, Siratun-Nubalaa.hal.139.
Ibnu Mandzur, Lisan Al-Arab
Al-I’tsham , hal-275
Qawa’idu al-Ahkam fi Mashalihi Al-Anam, jilid 1, hal-173
DR. Yusuf Ahmad Muhammad Al-Badawy, Maqashid Al-Syariah ‘Inda Ibni Taimiyah.
Fathul Bari, juz 17-hal 10.
Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin Ahmad bin Ali As-Sa’ati AL-hanafi
Al-Qur’an Al-Karim,Surat Al Baqarah:85
At-Tamhid Fi Ushul Al-Fiqh karya Mahfuzh bin Ahmad bin Husain Abul Khattab Al-Kalwadzani Al- Imam al-Syatibi, Al-Muwafaqat.
Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu’taziliy Asy-Syafi’i
Ibnu Abd As-Salam, Qawaid Al-Ahkam.